Wednesday, July 13, 2011

PERBAHASAN ILMU GHAIB

Mizan Keadilan Tuhan

Pada silsilah pembahasan Mizan Keadilan Tuhan, kita kali ini memasuki tahapan pembahasan ilmu ghaib, lauh mahfuz, lauh mawh wa itsbat dan konsep bada’ yang merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya. Karena masalah Keadilan Tuhan erat kaitannya dengan pengetahuan Tuhan, di sini kita, sesuai dengan tuntutan pembahasan, akan mendiskusikan sepintas tentang ilmu ghaib, definisi dan ayat-ayat yang berkaitan dengannya.

Tentu saja, banyak di antara kita yang meramalkan ratusan perkara yang terjadi di masa mendatang. Kita mengetahui perkembangan waktu; kita mengetahui hari, waktu dan bilamana terjadinya gerhana bulan dan matahari. Peramal cuaca meramalkan turunnya hujan, badai, halilintar, dan banyak lagi prakiraan cuaca dan musim. Dengan melihat fitur seorang manusia, sebagian kita bahkan dapat berkata dengan beberapa derajat keyakinan ihwal karakter dan tabiat orang tersebut. Para dokter dan ahli fisika dapat dengan mudah memprediksikan peluang hidup-matinya para pasien mereka. Anda dapat jumpai contoh yang banyak dalam kehidupan Anda sehari-hari. Namun apakah semua ini dapat disebut sebagai ilmu ghaib? Apakah peramal cuaca mengetahui ilmu ghaib? Jawabannya adalah tidak. Karena semua ramalan dan nubuat cuaca, meramal fitur manusia ini bersandar kepada observasi hukum-hukum alam. Dengan observasi dan deduksi yang tajam, kita berada pada posisi untuk mengetahui segala hal di masa mendatang. Pengetahuan tentang masa mendatang ini berdasarkan kepada deduksi dan obvervasi hukum-hukum fisika


Ilmu Ghaib

al‑Ghaib bermakna “non-kasat mata atau “sesuatu yang tersembunyi.” Ilmu ghaib bermakna ilmu terhadap segala sesuatu yang tidak kasat mata saat ini, seperti kejadian-kejadian di masa mendatang. Pengetahuan semacam ini merupakan sepenuhnya prerogatif Tuhan. Tiada seorang pun yang tahun tentang perkara ghaib kecuali Allah Swt.

Ilmu ghaib yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai satu-satunya hak prerogatif Allah, adalah ilmu tentang hal-hal non-kasat mata dan pelbagai peristiwa di masa mendatang yang tidak bersandar kepada deduksi dan obvservasi hukum-hukum fisika. Ilmu ghaib merupakan jenis ilmu yang disinggung al-Qur’an pada ayat berikut ini:

“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya.” (Qs. Al-Jin [72]:26-27)

Ayat ini dan ayat-ayat serupa disebutkan secara jelas bahwa ilmu tentang hal-hal yang ghaib dan kejadian masa depan, tidak bersandar kepada observasi hokum-hukum fisika atau deduksi, hanya ada pada Tuhan. Dan Dia, dengan hikmah dan kebijaksanan-Nya, memilih para utusannya, nabi-nabi dan para imam untuk Dia kabarkan pengetahuan semacam itu. Ringkasnya, tiada seorang pun yang mengetahui hal-hal yang ghaib atau pelbagai kejadian masa depan (tanpa tanda-tanda yang ada atau deduksi) kecuali Allah. Dan Allah, dengan kemurahan-Nya, mewartakan pengetahuan tersebut kepada siapa saja yang Dia ridhai dan pilih, boleh jadi mereka adalah para malaikat, para rasul dan para imam.

Dalam riwayat para Imam Ahlulbait As, telah dijelaskan bahwa Allah hanya sekali waktu mengabarkan nama-namanya yang Agung (ismu a’zham) kepada ‘Asif bin Barkhiya (perdana menteri Nabi Sulaiman); dan dengan sebagian pengetahuan itu ia mampu membawa singgasana Ratu Balqis, ratu kerajaan Saba, dari ibukotanya ke Yerusalem dengan satu kedipan mata.[1]

Namun Allah telah memberikan kepada Nabi Saw seluruh pengetahuan yang diberikan kepada para nabi semenjak Adam, sebagaimana pengetahuan yang diberikan kepada seluruh malaikat; dan kemudian pengetahuan bertambah secara konstan. Dan Nabi Saw, sesuai dengan titah Ilahi, mengajarkan ilmu tersebut kepada ‘Ali As; dan ilmu tersebut diteruskan kepada imam yang menggantikannya dan seterusnya hingga kepada Imam al-Mahdi As.[2] Atas hal ini jelas mengapa mereka disebut sebagai “Para Penjaga Khazanah Ilmu Tuhan.”[3]


“Lawh mahfuz” and “Lawh mahw wa ithbat”

Lauh bermakna “lempengan, kepingan, lembaran kayu atau batu yang digunakan untuk menulis sesuatu di atasnya.” Secara metaforis, lauh digunakan untuk “pengetahuan”, karena pengetahuan biasanya didapatkan dari sesuatu yang tertulis. Mahfuz bermakna terjaga. Sesuatu yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas; terlindungi secara ketat. Oleh karena itu, “lauh mahfuz” berkmakna pengetahuan yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang lain; pengetahuan yang secara ketat terlindungi.

Mahw bermakna hapus; menghapus atau menghilangkan sesuatu. Itsbat berarti penegasan atau pengukuhan; menulis. Dengan demikian “lauh mahw wa itsbat” berkmana pengetehuan yang dapat dihapus dan ditambah; pengetahuan yang dapat berubah dari masa ke masa.

Kini Anda telah mengetahui makna literal “lauh mahfuz” dan “lauw mahw wa itsbat,” kini mari kita bahas apa yang dimaksud dari kedua terma ini dalam Islam.

Kita tahu bahwa pengetahuan Tuhan tidak akan pernah keliru. Dengan kata lain, tiada yang berubah dalam pengetahuan Tuhan. Atas alasan ini Tuhan menyebut ilmu-Nya sebagai “lauh mahfuz”. Redaksi ini menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan karena ilmu-Nya tidak pernah berubah. Ia senantiasa benar dan tidak perlu dihapus atau ditambah atau diganti.

“Ummu ‘l‑kitab” merupakan nama lain yang digunakan untuk ilmu Tuhan. “Ummul Kitab” bermakna “buku dasar”, “induk segala buku.” Pengetahuan Tuhan disebut sebagai “buku dasar” artinya ilmu dasar; atau “induk segala buku.” Yang bermakna sumber pengetahuan lantarna hanya pengetahuan-Nya yang dapat disebut sebagai “pengetehuan yang sebenarnya.”

“Lauh mahw wa itsbat” merupakan nama yang diberikan Tuhan untuk ilmu para malaikat, para nabi dan para imam. Ilmu mereka, meski merupakan ilmu yang sempurna dan lengkap bagi seluruh umat manusia, namun ia masih kalah sempurna dibandingkan dengan ilmu Tuhan.

Nama-nama yang disebutkan di atas adalah bersumber dari ayat al-Qur’an, “Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39)

Ummul Kitab ini disebut sebagai “lauh mahfuz” pada ayat, “Bahkan yang mereka didustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh.” (Qs. Al-Buruj [85]:21-22)

Karena pengetahuan para malaikat, para nabi dan para imam secara konstan disempurnakan, dilengkapi, oleh karena itu pengetahuan mereka disebut “lembaran yang dihapus dan ditulisi” Lauh mahw wa itsbat.”[4]

Tentang lauh wa itsbat ini akan disuguhkan pada bagian berikut ini.



Konsep Bada’

Bada’ dalam al-Qur’an

Konsep bada’ ini tampak dari banyak kisah dalam al-Qur’an yang menceriterakan bahwa Allah terkadang, dengan kasih dan kebijaksanaan-Nya, menyingkapkan sebagian dari rencana masa depan-Nya kepada para malaikat dan para nabi. Mereka diwartakan ihwal rencana Tuhan berkaitan dengan tingkatan tertentu, dan pengetahuan dari episode selanjutnya tidak diwahyukan kepada mereka. Sebelum menjelaskan teori ini lebih jauh, kami akan menyinggung ayat-ayat al-Qur’an sebagai contoh:

1. Kaum Nabi Yunus:

Pertama-tama kisah kaum Nabi Yunus. Allah Swt berfirman tentang kaum Yunus:

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat baginya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Qs. Yunus [10]:98)

Kenyataan ini menggambarkan bahwa kaum Nabi Yunus telah menolaknya; dan hanya terdapat dua orang yang beriman kepadanya; salah satu dari mereka adalah orang yang bertakwa namun tidak disertai dengan pengetahuan, dan orang yang kedua adalah orang yang bertakwa lagi berilmu. Tatkala Nabi Yunus berdoa kepada Allah untuk menurunkan azab dan siksa kepada kaumnya atas kekafiran mereka, Allah menjanjikan hari tertentu azab tersebut diturunkan. Nabi Yunus beserta sahabat setianya meninggalkan kaumnya. Namun orang alim tersebut tinggal bersama kaumnya dan mencoba untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. Ia berkata kepada mereka bahwa masih ada waktu untuk bertobat dari kekufuran, dan beriman kepada Allah dan nabi-Nya, Yunus dan kemudian berdoa kepada Allah untuk menjauhkan bencana tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, anak-anak dipisahkan dari ibunya dan gembala dari induknya; setiap orang berpuasa, dan mereka semuanya keluar dari desa tersebut; mereka menangis, berdoa, bersujud kepada Allah dan memohon ampunan-Nya serta berdoa supaya Allah menjauhkan petaka tersebut. Langit dibalut dengan awan-awan hitam, siang menjadi malam, petir dan kilat menyambar-nyambar di angkasa. Nampak azab Tuhan akan menghapus seluruh umat Nabi Yunus. Untungnya mereka telah bertobat sebelum melihat azab; dan dengan demikian Tuhan berkat, kerahiman-Nya mengampuni mereka dan karena doa, tangis dan jeritan mereka berlanjut, secara perlahan langit berubah menjadi cerah, mendung berlalu dan seluruhnya selamat.

Mereka menantikan Nabi Yunus kembali sehingga mereka dapat menjadi pengikutnya. Pada hari berikutnya, Nabi Yunus kembali dengan harapan melihat kota telah binasa. Namun, ia melihat seorang pengembala bergerak menuju ke gembalanya. Ia pikir Tuhan tidak memenuhi janji-Nya, lalu ia memutuskan untuk tidak masuk ke desa tersebut.

Di sini kita tidak akan menyebutkan seluruh bagian dari peristiwa tersebut. Apa yang kita ingin tunjukkan di sini bahwa Allah mengetahui sebelumnya bahwa kaum Nabi Yunus akan bertobat, menerima kebenaran dan beriman kepada Nabi Yunus dan Tuhannya; dan kemudian mereka terselamatkan. Namun Allah tidak mewahyukan seluruh peristiwa kepada Nabi Yunus. Nabi Yunus dikabarkan bahwa bencana akan menimpa kaumnya. Secara natural, ia berpikir bahwa bencana tersebut akan melenyapkan seluruh umatnya. Karena ia tidak diberitahu, ia tidak mengetahui bahwa sebelum datangnya bencana, umatnya akan bertobat dan mereka seluruhnya akan selamat. Jelas bahwa Allah mengabarkan kepada Yunus akan kejadian tersebut hingga tingkatan tertentu tanpa memberitahukannya kesimpulan dari kejadian tersebut.

Mengapa hal ini terjadi? Karena jika Nabi Yunus mengetahui bahwa bencana akan datang dan kemudian pergi, nasihat dan peringatannya tidak akan ada nilainya yang berisikan kekuatan ikhlas yang dapat melembutkan hati umatnya. Jika sahabat alim Nabi Yunus mengetahui bahwa bencana akan mendatangi mereka maka ia akan angkat kaki dari kota tersebut, ia tidak dapat memberikan peringatan kepada mereka sedemikian tulus dan kata-katanya tidak akan didengarkan. Adalah karena Allah, dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menghendaki mereka mendengarkan hikmah, Dia tidak mewahyukan seluruh kejadian masa depan kepada Yunus. Bukan karena Allah berkata dusta kepadanya atau tidak memenuhi janji-Nya. Dia tidak mengabarkan kepada Yunus bahwa umatnya akan binasa dengan peristiwa tersebut. Janji tetap dipenuhi. Tapi bukan janji untuk melenyapkan kaum. Bukan janji dari Allah – meski seluruh orang berpikir bahwa kaum akan dimusnahkan.

Kisah ini menunjukkan secara jelas bahwa Tuhan, karena hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menahan pengetahuan ihwal adegan berikutnya dari Nabi Yunus. Yunus mengetahui seluruh rencana tersebut setelah rencana tersebut terlaksana dan berlaku.

2. Pengorbanan Nabi Ismail

Sekarang mari kita beralih kepada contoh lainnya. Nabi Ibrahim ditunjukkan dalam mimpinya bahwa ia menyembelih putranya atas perintah Tuhan. Karena hal itu berupa mimpi, ia harus telah melihat bagaimana ia membunuh Ismail. Ia harus telah melihat dirinya mengikat tangan dan kaki putranya, menutup matanya dan meletakkan pisau di leher putranya dan kemudian menekannya. Secara natural, dengan melihat mimpi ini, ia berpikir ia diperintahkan untuk membunuh putra satu-satunya, Ismail, dengan cara demikian. Oleh karena itu, ia membajakan hatinya untuk mengorbankan putra semata wayangnya.

Sang putra mendengar hal ini dan menyiapkan dirinya untuk dikorbankan demi ketaatannya kepada titah Allah. Bapak dan anak rela mengorbankan segalanya di jalan Allah. Nabi Ibrahim mengikat tangan dan kaki putra semata wayangnya dan memposisikannya dalam kondisi sujud; ia menutup matanya dan meletakkan pisau di atas leher sang anak lalu memotongnya. Setelah menyingkirkan tutup matanya, ia melihat Ismail tersenyum dan seekor domba telah terpenggal menggantikannya.

Nabi Ibrahim berpikiri bahwa ia telah gagal dalam ujian tersbut. Namun ia telah melakukan apa yang dilakukannya dalam mimpi. Tentu saja, Allah Swt tidak mewartakan kepadanya hingga adegan terakhir. Karena sekiranya Ibrahim tahu bahwa Ismail akan diselamatkan atau Ismail tauh bahwa ia akan selamat, maka ujian tersebut tidak akan memiliki nilai dan arti sama sekali; tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kerelaannya mengorbankan segalanya di jalan Allah. Tuhan menunjukkan kepada Ibrahim dalam mimpinya hingga tingkatan tertentu; tidak mengabarkannya seluruh episode tersebut hingga akhir. Karena mereka tidak mengetahui hasil akhirnya. Ibrahim dan Ismail mampu menunjukkan, bagaimana relanya mereka memenuhi titah Allah bahkan pada tingkatan mengorbankan jiwa dan jiwa orang yang paling dikasihinya semata-mata demi Allah.

Jika mereka mengetahui hasil cerita tersebut semenjak permulaan, maka ujian tersebut tidak akan memiliki makna sama sekali.

3. Taurat diberikan kepada Nabi Musa

Contoh ketiga ini berkaitan dengan Nabi Musa dan pewahyuan Taurat. Nabi Musa diperintahkan untuk pergi ke Gunung Sinai, berpuasa selama tiga puluh hari dalam rangka persiapan untuk menerima lembaran-lembaran Taurat. Pada hari ketiga puluh, ia membersihkan giginya (bersiwak) dan pergi ke Gunung Sinai. Di sana ia ditanya oleh Tuhan mengapa ia membersihkan giginya. Ia menjelaskan bahwa lantaran ia hendak pergi ke sebuah tempat suci, ia pikir pantas dan layak baginya untuk berdandan dan merapikan diri. Tuhan berfirman kepadanya bahwa aroma mulut seorang yang berpuasa lebih semerbak baunya di hadapan Allah daripada bau Kesturi. Dan kemudian ia diperintahkan untuk kembali ke tempat tinggalnya dan berpuasa sepuluh hari lagi lalu pergi Gunung Sinai tanpa bersiwak. Kemudian pada hari keempat puluh ia diberikan Taurat.

Allah mengetahui sebelumnya bahwa Musa akan datang setelah ia bersiwak dan akan diperintahkan untuk berpuasa sepuluh hari lagi. Namun tidak Musa juga tidak Bani Israel yang diberitahu masalah ini; juga tidak Musa diberitahu sebelumnya bahwa ia adalah seorang pembangkang karena bersiwak pada hari ketiga puluh.

Ketika Allah merujuk kepada pengetahuan-Nya, Dia menjelaskan seluruh episode empat puluh hari tersebut bersama-sama:

“Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam, kemudian kamu menjadikan anak lembu (sebagai sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:51)

Dan berkenaan dengan pengetahuan Musa, Dia berfirman tiga puluh hari dan sepuluh hari secara terpisah:

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhan-nya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku dan perbaikilah mereka, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”(Qs. Al-A’raf [7]:142)

Alasan tidak memberikan informasi lebih lanjut adalah kelakuan Bani Israel yang karena penundaan sepuluh harinya, meninggalkan ibadah kepada Allah dan beralih menyembah berhala. Kisah ini diilustrasikan dengan indah dalam al-Qur’an berikut ini: “Allah berfirman, “Sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Musa berkata, “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Apakah waktu perpisahanku denganmu terasa lama bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu sehingga kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?” Mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, lalu kami melemparkannya.” Dan demikian Samiri mempengaruhi. Kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Maka mereka berkata (kepada sesamanya), “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.” (Qs. Thaha [20]:85-88)

Coba bayangkan, seluruh komunitas yang terdiri dari ribuan sahabat nabi ulul azm, di tengah hadirnya khalifah dan penggantinya, Harun, beralih dari mengikuti agama yang benar menjadi penyembah berhala, hanya karena penundaan Musa selama beberapa hari! Ujian ini akan gagal sekiranya Allah mewartakan kepada Musa bahwa ia harus tinggal selama empat puluh hari; atau jika ia diberitahu sebelumnya untuk tidak bersiwak pada hari ketiga puluh.

Apa yang Dimaksud dengan Bada’

Ketiga contoh yang diambil dari al-Qur’an ini adalah memadai untuk menunjukkan bahwa Allah mengutarakan rencananya kepada para malaikat, nabi atau imam hanya hingga tataran yang bermanfaat bagi umat manusia atau yang diperlukan untuk membuat ujian yang diberikan memiliki nilai dan arti. Ketika tiba masanya malaikat, nabi dan imam memikirkan bahwa rencana mendekati akhir, sebuah cerita baru mengembangkan rencana tersebut atau membawanya hingga tak segera berakhir. Episode baru ini disebut sebagai bada’ yang dalam bahasa Arab bermakna “tampil.”

Di sini kita tidak perlu menegaskan bahwa tampilan atau klarifikasi ini tidak berhubungan dengan Allah yang mengetahui segala sesuatunya semenjak azal. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan makhluk-Nya yang kemudian mengetahui akhir dari rencana Tuhan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Dan juga atas alasan ini pengetahuan para malaikat, nabi dan imam disebut sebagai lauh mahw wa ithbat (lembaran penghapusan dan penulisan), sementara pengetahuan Tuhan disebut sebagai lauh mahfuz (lembaran yang terlindungi) yang posisinya berada di atas perubahan dan penggantian.

Manfaat Bada’

Terdapat banyak alasan untuk pewahyuan parsial ini. Beberapa alasan tersebut dapat disebutkan di sini. (pada tiga kisah al-Qur’an yang disebutkan di atas, Anda dapat mendapatkan dua kegunaan bada’.)

1.Bada’ membantu para hamba Allah untuk membuang keyakinan salah mereka dan kembali ke jalan yang benar, sebagaimana hal ini terjadi pada kasus umat Nabi Yunus As.

2.Bada’ membantu manusia dalam ujian individual dan kolektif, sebagaimana hal ini dapat dijumpai pada kasus Nabi Ibrahim dan Ismail As, dan Bani Israel.

3.Karena para malaikat tidak pernah yakin atas rencana dari kejadian yang dikabarkan kepada mereka sebagai rencana final, mereka senantiasa mencari bimbingan dari Allah. Dengan demikian mereka tidak pernah merasa independen dari bimbingan dan perintah-perintah Allah.

4.Demikian juga, para nabi dan imam tidak pernah berpikir bahwa mereka telah mengetahui segala sesuatu yang harus diketahui. Nabi Muhammad Saw diajarkan untuk senantiasa berdoa: “Tuhanku! Tambahkan bagiku ilmu.” (Qs. Thaha [20]:114) Imam Zainul Abidin As berkata, “Sekiranya tidak ada sebuah ayat dalam al-Qur’an, aku dapat menyebutkan seluruh peristiwa hingga hari Kiamat.” Ketika ditanya, “Ayat yang mana?” Ia membaca: “Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.”( (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39).[5] Ayat ini telah dijelaskan pada awal-awal pembahasan ini. Harus disebutkan di sini bahwa banyak kali Allah mengabarkan para malaikat, nabi dan imam tentang kejadian di masa datang, mewartakan kepada mereka dengan jelas bahwa warta itu merupakan kata pamungkas. Dalam kasus semacam ini tidak terdapat perubahan dari rencana tersebut dan tiada penghapusan dan penambahan.

5.Manusia tidak pernah tahu apa yang akan berlaku pada mereka di masa mendatang. Oleh karena itu mereka akan senantiasa memohon pertolongan dan kemurahan Allah. Hal ini akan memberi manfaat bagi mereka dalam kehidupan dunia ini atau akhirat kelak.


---------------------------------------------------------------------------

[1]. al‑Majlisi, Biharu ‘l‑Anwar, vol. 26, p.170.
[2]. al‑Majlisi, Biharu ‘l‑Anwar, jil. 26, bag. 1 hingga bag. 3, hal-hal. 18‑976
[3]. Ibid, bag. 5, hal-hal 105-108.
[4]. al‑Majlisi, Biharu ‘l‑Anwar, jil. 4, hal. 130
[5]. al‑Majlisi, Biharu ‘l-Anwar, jil. 4, hal.118

No comments:

Post a Comment